BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan serotinus dahulu tidak dianggap sebagai suatu masalah selain bahwa kehamilan serotinus sering disertai dengan makrosomia dan pelahiran yang sulit. Namun, akhir-akhir ini kehamilan lewat waktu merupakan suatu masalah yang sering dibicarakan berkaitan dengan angka kematian perinatal yang meningkat bermakna sehingga mendorong diadakannya intervensi seperti pelahiran atau penelusuran kesejahteraan janin dalam rahim.(Cunningham, 2001)
Insiden kehamilan serotinus sangat bervariasi tergantung pada kriteria yang digunakan untuk diagnosis. Frekuensi yang dilaporkan berkisar 4-14% dengan rata-rata sekitar 10%. Sebagai perbandingan, 11% kelahiran hidup di Amerika Serikat adalah kehamilan preterm yang merupakan penyebab kematian utama dari neonatus, sedangkan kehamilan serotinus sekitar 8%. Dan terdapat kecenderungan bahwa ibu akan mengalami kehamilan serotinus berulang. Di Norwegia, insiden kehamilan serotinus berturutan meningkat dari 10% menjadi 27% bila kehamilan pertama adalah serotinus dan menjadi 39% bila terjadi kehamilan serotinus dua kali berturutan sebelumnya. (Mathai Matthews, 2004)
Penyebab dari kehamilan serotinus tidak diketahui, tetapi ada faktor risiko yang berupa primiparitas, kehamilan serotinus sebelumnya, janin yang dikandung laki-laki, faktor genetik dan faktor hormonal. Laursen et al mempelajari kembar monozygot dan dizygot dan perkembangan mereka menjadi kehamilan serotinus. Mereka menemukan bahwa terdapat faktor genetik dari ibu dan bukan dari ayah yang mengarah pada kehamilan serotinus. (Buttler Jennifer R, 2006)
Saat ini yang menjadi masalah pada kehamilan serotinus adalah kapan dan dengan cara apa akan dilakukan terminasi pada kehamilan yang serotinus Pada beberapa kasus misalnya tidak bisa dilakukan pemantauan kesejahteraan janin dalam rahim, oligohidramnion, (intra uterine growth retardation) IUGR yang merupakan kehamilan dengan risiko tinggi mungkin dilakukan terminasi kehamilan pada usia kehamilan yang lebih cepat. Pada kasus lain, ada beberapa pilihan untuk mempertimbangkan kapan terminasi dilakukan dengan mempertimbangkan umur kehamilan, pemeriksaan serviks, taksiran berat janin, pertimbangan dari pasien, dan riwayat kehamilan lalu. Pada kehamilan serotinus, morbiditas dan mortalitas perinatal tidak meningkat pada kehamilan yang diterminasi pada 40-41 minggu, dan menjadi dua kali lipat bila umur kehamilan lebih dari 42 minggu dan meningkat 6 kali lipat pada umur kehamilan 43 minggu.(Buttler, 2006)
Masalah utama dalam kehamilan serotinus adalah bahwa mortalitas perinatal yang meningkat. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan sebelum intervensi yang dilakukan untuk kehamilan yang melampaui 42 minggu dilakukan. Penelitian di Swedia menunjukkan bahwa mortalitas perinatal meningkat ketika kehamilan melampaui 41 minggu. Lucas dkk (1965) membandingkan hasil akhir perinatal pada kehamilan serotinus dan kehamilan yang dilahirkan antara usia gestasi 38-41 minggu, ternyata semua komponen mortalitas perinatal yaitu kematian antepartum, intrapartum, dan neonatal meningkat pada usia gestasi 42 minggu dan sesudahnya. Peningkatan yang paling signifikan adalah kematian intrapartum. (Muray E, 2000).
Dalam tahun 2002-2003 di Indonesia berdasarkan data yang diperoleh melalui Survey Demogravi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) angka kematian ibu berada pada 307 per 100.000 kelahiran hidup, Sedangkan angka kemaian bayi berada pada 51,0 per 1000 kelahiran hidup. (Profil, Kes, Depkes, 2003)
Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, penyebab kematian ibu adalah perdarahan (45,2 %), eklamsia (12,9 %), komplikasi abortus (11,1 %), sepsis (9,6 %), anemia (1,6 %) dan penyebab tidak langsung (14,1 %) secara garis besar kematian ibu digolongkan dalam faktor (a) reproduksi (b) komplikasi obstetri (c) pelayanan kesehatan (d) sosio ekonomi (Ilmu Kebidanan 2002).
Berdasarkan data yang diperoleh dan profil Kesehatan Propinsi Sul-Sel tahun 2004 angka kematian ibu 110 per 100.000 kelahiran hidup dengan penyebab kematian perdarahan sebanyak 60 orang (54,55 %), infeksi 7 orang (3,855 %), pre eklamsia/eklamsia 13 orang (15,38 %), lain-lain 30 orang (16,68 %). (Profil Kes AKI 2004)
Data yang didapatkan dari hasil pencatatan dan pelaporan di Rumah Sakit Umum Daerah Pangkep tahun 2008, jumlah ibu hamil serotinus sebanyak 57 orang dari 356 ibu hamil (Profil Dinas Kesehatan Pangkep).
Tingginya tingkat kejadian serotinus tidak lepas dari berbagai faktor dan sangat berpengaruh terhadap tingkat mortalitas dan morbiditas seorang ibu, antara lain kurang gizi, penyakit ibu dan infeksi. Selain itu faktor umur ibu, paritas, pendidikan , sosial ekonomi, umur kehamilan, dapat juga menjadi faktor penting dalam kontribusi terjadinya serotinus.
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Kejadian Kehamilan Serotinus di RSUD Pangkep Periode Januari – Desember 2008”.