Gambaran Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar tahun 2009 (A-0029)
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram. Dahulu neonatus dengan berat lahir kurang dari 2500 gram atau sama dengan 2500 gram disebut kelahiran premature. Bayi berat lahir rendah merupakan salah satu faktor risiko yang mempunyai konstribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal, selain itu bayi berat lahir rendah dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang selanjutnya, hingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi. Malnutrisi pada masa perinatal akan mempengaruhi pertumbuhan otak dan mengakibatkan komplikasi yang pada gilirannya berakibat buruk pada kehidupan bayi tersebut dikemudian hari (Susilo, 2010).
Oval: 1Kemampuan pelayanan suatu negara ditentukan dengan perbandingan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan angka kematian perinatal. Dikemukakan bahwa angka kematian perinatal lebih mencerminkan kesanggupan satu Negara untuk memberikan pelayanan kesehatan. Indonesia di lingkungan Assosiation Of Earth Asia Nations (ASEAN) merupakan negara dengan angka kematian ibu dan perinatal tertinggi, yang berarti kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan masih memerlukan perbaikan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu (Manuaba,2001).
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan dari 20 juta kelahiran bayi di seluruh dunia sebesar 15,5% adalah bayi berat lahir rendah, adapun angka kejadian bayi berat lahir rendah di negara berkembang sebesar 16,5%, sedangkan di negara maju kejadiannya sebesar 7% (Anonim, 2009).
Prevalensi bayi berat lahir rendah diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 33% - 38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosial - ekonomi rendah. Secara statistik menunjukan 90% kejadian bayi berat lahir rendah didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram (WHO, 2007).
Bayi berat lahir rendah termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbilitas dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya dimasa depan. Masalah jangka panjang yang mungkin timbul pada bayi berat badan lahir antara lain : Gangguan perkembangan, gangguan pertumbuhan, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, penyakit paru kronis, kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit, kenaikan frekuensi kelainan bawaan (Subramanian, 2007).
Menurut hasil Survey Kesehatan Nasional 2002 – 2003, Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan sebesar 47/1000 kelahiran hidup. Fluktasi ini biasa terjadi oleh karena perbedaan besar sampel yang diteliti sementara itu data yang dikeluarkan oleh Depkes RI bahwa angka kematian bayi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 sebesar 27,52 perkelahiran bayi. Sementara laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota bahwa jumlah kematian bayi pada tahun 2006 sebanyak 566 bayi atau 4,32/100 kelahiran hidup, mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 709 kematian bayi atau 4,61/1000 kelahiran hidup. Untuk tahun 2008 ini jumlah kematian bayi turun menjadi 638 atau 4,39/1000 kelahiran hidup. Sedangkan pada tahun 2009 angka kematian bayi mengalami penurunan menjadi 26/1000 kelahiran hidup dimana masih jauh dari target angka kematian tahun 2010 yaitu 15/1000 kelahiran hidup (Profil Depkes Sulsel 2009).
Di Indonesia setiap tahun ada 4.608.000 bayi lahir hidup. Dari jumlah itu sebanyak 100.454 meninggal sebelum berusia 1 bulan, itu berarti 275 neonatal meninggal setiap hari atau sekitar 184 neonatal dini meninggal. Angka kematian bayi yang tinggi baik kematian pada neonatal dini maupun kematian pada bayi berumur kurang dari setahun 35 % disebabkan karena bayi berat lahir rendah yang mana hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor ibu misalnya: umur ibu terlalu muda, jumlah anak, jarak kelahiran anak, umur kehamilan saat melahirkan, faktor gizi (Anonim, 2010).
Secara nasional berdasarkan analisis lanjut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009 angka kejadian bayi berat lahir rendah 7,5%, sedangkan untuk Sulawesi Selatan angka bayi berat lahir rendah sekitar 1,70%.
Namun menurut profil dinas kesehatan di Sulawesi Selatan berdasarkan hasil pencatatan seksi bina kesehatan anak. Angka kematian bayi di Sulawesi Selatan tahun 2007 mencapai sekitar 7.341 kematian bayi, dengan penyebab bayi berat lahir rendah 23 (0,31%), aspiksia 6 (0,08%). Angka kelahiran bayi berat lahir rendah tahun 2008 yaitu 2.247 (1,78%) bayi dan 126.130 kelahiran hidup dan tahun 2009 angka kejadian bayi berat lahir rendah yaitu 2.429 (1,70%) bayi dari 142.573 kelahiran hidup (2,63%) sedangkan di RSIA Siti Fatimah Kejadian bayi berat lahir rendah pada Tahun 2008 terdapat 237 bayi dan tahun 2009 terdapat 169 bayi (Rekam Medik RSIA Siti Fatimah Makassar, 2009).
Bayi berat lahir rendah menunjukkan kecendrungan untuk lebih mudah menderita berbagai penyakit infeksi dan hal ini merupakan penyebab tingginya tingkat kematian pada kelompok ini. Karena berat badan lahir yang rendah itu erat pengaruhnya terhadap keadan gizi pada usia selanjutnya, angka kematian bayi meningkat dengan meningkatnya kejadian bayi berat lahir rendah, sehingga bila angka bayi bayi lahir rendah kecil maka dapat dikatakan bahwa angka kematian bayi akan rendah pula. Ukuran badan bayi ditentukan oleh beberapa faktor yang erat hubungannya dengan gizi ibu yang kurang baik selama masa muda, selama masa hamil dan adanya penyakit terutama penyakit infeksi yang diderita ibu selama hamil sehingga perkembangan janin tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Penurunan angka kejadian bayi berat lahir rendah dapat dicapai dengan pengawasan antenatal yang baik dengan menemukan faktor – faktor yang mempengaruhi janin dan neonatus sejak dini (Malik, 2009).
Hal inilah sehingga penulis termotivasi untuk memaparkan lewat karya tulis ilmiah dengan judul ”Gambaran Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar tahun 2009 ”.