BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Visi Keluarga Berkualitas 2015 yaitu untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keluarga merupakan titik sentral pembangunan, oleh karena itu harus dipenuhi kebutuhan pokoknya serta menjamin kesejahteraan jasmani, rohani dan sosialnya. Kemudian keluarga dikembangkan kemampuan dan pengetahuannya agar memiliki wawasan ke depan, peduli dan kreatif sehingga berperilaku tidak tergantung pada orang lain (Depkes RI, 2001).
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini mengalami masalah kepadatan penduduk. Ini diakibatkan jumlah kelahiran tidak sesuai dengan jumlah kematian yang terjadi sehingga terjadi lonjakan penduduk yang mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran, kemiskinan, banyak terjadi kejahatan dan terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001).
Masalah kependudukan dewasa ini memang perlu mendapat perhatian dan pembahasan yang serius. Ahli kependudukan menyatakan bahwa disamping jumlah penduduk yang besar juga pertambahan penduduk relatif tinggi (Hartanto Hanafi, 2003).
Melihat gejala ini pemerintah dan masyarakat menyadari perlunya dilaksanakan program kelurga berencana. Program keluarga berencana ini merupakan usaha langsung yang bertujuan mengurangi tingkat kelahiran melalui penggunaan alat kontrasepsi (Hartanto Hanafi, 2003).
Pencegahan kematian dan kesakitan ibu merupakan alasan utama diperlukannya pelayanan Keluarga Berencana (KB). Namun banyak Pasangan Usia Subur (PUS) mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan alat kontrasepsi, hal ini tidak hanya karena keterbatasan metode yang tersedia, tapi juga oleh ketidaktahuan masyarakat tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi. Mengacu kepada KEPMENKES900/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan tercantum pada pasal 14 dan 19 tentang pelayanan Keluarga Berencana (KB) oleh bidan, sehingga konseling merupakan bagian integral yang sangat penting dalam pelayanan KB (Hartanto Hanafi, 2003).
Keberhasilan program KB tidak saja diukur dari semakin meningkatnya peserta KB setiap tahun, akan tetapi juga dari kelangsungan pemakaian-pemakaian kontrasepsi oleh para akseptor.
Di Sulawesi Selatan jumlah pasangan usia subur pada tahun 2008 tercatat sebanyak 1.047.575 jiwa, PUS yang ingin ber-KB, namun tidak terlayani sebanyak 320.838 jiwa atau 30,63%. Demikian halnya dengan persentase peserta KB aktif Provinsi terhadap PUS lapangan sejumlah 726.737 (69,37%) jika dibandingkan dengan presentase terhadap PUS laporan 2007 sebesar 61,05% berarti terjadi peningkatan 8,32% (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2008).
Melihat besarnya jumlah akseptor KB, maka masalah lonjakan penduduk atau terjadinya ledakan penduduk di Indonesia kini mulai ditangani. Namun menggunakan alat kontrasepsi yang menurut mereka lebih praktis seperti suntikan dan pil. Sementara itu alat kontrasepsi yang lain cenderung mereka hindari karena mereka menganggap bahwa alat kontrasepsi yang mereka gunakan itu tidak praktis dan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama untuk menggunakannya seperti halnya pada penggunaan alat kontrasepsi intra uterina device (IUD).
Puskesmas Barandasi merupakan salah satu puskesmas yang dilengkapi dengan pelayanan KB dimana jumlah Akseptor KB sebanyak 3.006 peserta Tahun 2008 dengan jenis akseptor Suntik 1441 peserta, Pil 984 peserta, Implan 269 peserta, IUD 184 peserta, Kondom 128 peserta. Dari data yang ada, kontrasepsi IUD menempati urutan terendah setelah kondom. Rendahnya minat atau kecenderungan masyarakat khususnya PUS dalam menggunakan alat kontrasepsi IUD dipengaruhi oleh popularitas IUD karena banyak wanita yang belum mengetahui dan mengenal kontrasepsi IUD sebagai metode yang memuaskan dan lebih aman. (Data sekunder Puskesmas Barandasi, 2008).
Sehubungan dengan hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti Gambaran Tentang Pemakaian IUD di Puskesmas Barandasi Maros Tahun 2008.