BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kematian maternal merupakan salah satu masalah kesehatan yang terus menjadi perhatian masyarakat dunia memasuki abad ke -21, 180 negara menyerukan Millennium Declaration dan menyepakati Millenium Development Goal (MDG), salah satu tujuan MDG tahun 2015 adalah perbaikan kesehatan maternal. Kematian maternal dijadikan ukuran keberhasilan terhadap pencapaian tujuan tersebut dan sebagai prioritas utama yang harus ditanggulangi melalui upaya sistematik dan tindakan yang nyata untuk meminimalisasi resiko kematian, menjamin reproduksi sehat dan meningkatkan kualitas hidup dan kaum perempuan. (Adriaansz, 2005)
Menurut World Health Organisation (WHO) mencatat pada tahun 2007 bahwa tiap tahunnya angka kematian ibu (AKI) lebih dari 300/100.000 kelahiran hidup hingga 400/100.000 kelahiran hidup. Perempuan yang meninggal akibat perdarahan 28%, eklampsia 24%, partus lama 15%, infeksi 11%, abortus 5% dan penyebab lain 2% (anonim, 2008)
Angka Kematian Ibu (AKI) di ASEAN tertinggi di Indonesia sebesar 307/100.000 kelahiran hidup (survey demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 2002, 2003), Thailand 129/100.000 kelahiran hidup, Malaysia 39/100.000 kelahiran hidup, Singapura 6/100.000 kelahiran hidup. Tingginya AKI di Indonesia disebabkan karena masyarakat Indonesia yang justru luput dari jangkauan impormasi dan pelayanan kesehatan yang memadai yang akhirnya menyumbang AKI menjadi tinggi. (Okanegara, 2008)
Laporan kependudukan Indonesia tahun 2004 memperlihatkan kematian maternal di Indonesia yang cukup tinggi, sepuluh tahun setelah Komperensi Internasional Dan Pembangunan (ICPD) Cairo, AKI melahirkan di Indonesia masih cukup tinggi dan belum dapat diturunkan secara signifikan serta jauh dari target internasional ICPD yaitu dibawah 125/100.000 kelahiran hidup tahun 2005, dan 75/100.000 kelahiran hidup tahun 2015. Ini dapat dilihat berdasarkan survey demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003 AKI di Indonesia masih berada pada angka 307/100.000 kelahiran hidup, turun menjadi 270/100.000 kelahiran hidup tahun 2004, menjadi 262/100.000 kelahiran hidup tahun 2005, 255/100.000 kelahiran hidup tahun 2006 dan pada tahun 2007 menjadi 228/100.000 kelahiran hidup, ini menandakan penurunan angka kematian ibu mencapai 0,7%, perubahan ini mengarah kearah perbaikan, akan tetapi penurunan yang dialami belum mengubah status Indonesia sebagai Negara dengan AKI tertinggi dibandingkan dengan Negara-negara Asia Tenggara lainnya, untuk Negara Asia Tenggara pada tahun 2000 AKI tertinggi adalah Indonesia 384, kemudian berturut-turut diikuti Birma 230, Filipiana 170, Vietnam 160, Thailand 44, Malaysia 39 dan Singapura 6. Presiden Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet terbatas tentang pembangunan sector kesehatan di Departemen Kesehatan awal Februari 2008 menegaskan bahwa penurunan secara signifikan dan berkelanjutan angka kematian ibu dan bayi merupakan prioritas utama yang harus disukseskan di bidang kesehatan pada tahun 2008. (Rezki, 2008)
Penyebab terpenting kematian maternal di Indonesia adalah perdarahan 40-60%, infeksi 20-30% dan keracunan kehamilan 20-30%, sisanya 5% disebabkan penyakit lain yang membunuh saat kehamilan. Propinsi dengan kasus kematian ibu melahirkan tertinggi adalah propinsi Papua sebesar 730/100.000 kelahiran hidup, diikuti propinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 370/100.000 kelahiran hidup, propinsi Maluku sebesar 340/100.000 kelahiran hidup dan propinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 330/100.000 kelahiran hidup. Jumlah ini tidak terlalu banyak berubah sejak masa orde baru. Jumlah AKI yang dilaporkan pada tahun 2006 di Sulawesi Selatan sebesar 101,56/100.000 kelahiran hidup sedangkan pada tahun 2007 menurun menjadi 92,89/100.000 kelahiran hidup. (anonim, 2008)
Perdarahan yang biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak, bertanggung jawab atas 28% kematian ibu, sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan dan kebanyakan terjadi pada wanita dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun serta dengan wanita dengan jarak persalinan yang dekat yaitu kurang dari 2 tahun. Perdarahan setelah melahirkan atau postpartum hemorrhagic (PPH) adalah onsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma ditraktus genitalia dan struktur disekitarnya. Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan pasca persalinan harus dicari etiologi yang spesifik atonia uteri, retensio plasenta (termasuk plasenta akreta dan variannya), sisa plasenta dan laserasi traktus genitalia merupakan penyebab sebagian besar perdarahan postpartum. Dalam 20 tahun terakhir ini plasenta akreta mengalahkan atonia uteri sebagai penyebab tersering perdarahan postpartum yang keparahannya mengharuskan dilakukan tindakan histerektom. Laserasi traktus genitalia yang dapat terjadi sebagai penyebab perdarahan postpartum antara lain : laserasi perineum, laserasi vagina, cedera levator ani dan cedera serviks uteri. (Akhyar Y, 2008)
Frekuensi perdarahan postpartum yang dilaporkan Mochtar R.dkk (1965-1969) di RS Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan, dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di Negara-negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%, dari angka tersebut diperoleh sebaran etiologi antara lain atonia uteri (50-60%), sisa plasenta (23-24%), retensio plasenta (16-17%), laserasi jalan lahir (4-5%), kelainan darah (0,5-0,8%). Penanganan perdarahan postpartum harus dilakukan dalam dua komponen yaitu (1). Resusitasi dan penanganan perdarahan obstetric serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2). Identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan postpartum. (Admin, 2009)
Ada beberapa faktor yang memiliki keterkaitan dengan terjadinya perdarahan postpartum yakni umur ibu, paritas dan pendidikan, maka penulis tertarik untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul “Gambaran Kejadian Perdarahan Postpartum Di Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang Maros Periode Januari 2007- Desember 2008.